Agathahanny’s Blog

Just another WordPress.com weblog

Pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Di SMA Kusuma Bangsa Palembang

                         

I. Pendahuluan

            Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi dan masyarakat.

            Sekolah sebagai tempat mencetak sumber daya manusia berkualitas perlu menyediakan sarana prasarana dan materi pembelajaran yang mendukung peningkatan kemampuan siswa agar nantinya tangguh dalam era globalisasi, terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Siswa yang telah mengikuti dan memahami serta mempraktekkan TIK memiliki kapasitas dan kepecayaan diri untuk menggunakan dan mengembangkan berbagai teknologi infomasi dan komunikasi untuk mendukung proses pembelajaran dan dalam kehidupan sehari-hari.

            Visi mata pelajaran TIK adalah agar siswa dapat mengunakan perangkat TIK secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru.

            Pada era TIK seperti sekarang ini, paradigma pembelajaran bergeser dari pembelajaran tradisonal menuju pembelajaran berbasis pekembangan teknologi. Namun dalam pengimplementasian TIK di sekolah menengah atas (SMA), masih banyak mengalami kendala terutama masalah sarana dan prasarana, silabus, SDM dan biaya pemeliharaan. Oleh karena itu, perlu kiranya dibahas bagaimana implementasi mata pelajaran TIK di SMA, dengan mengambil contoh di SMA Kusuma Bangsa Palembang yang merupakan sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)

 

II. Pembahasan

            Dari hasil observasi melalui observasi dan wawancara langsung dengan nara sumber (tenaga pengajar) di SMA Kusuma bangsa Palembang didapat data sebagai berikut pada tabel di bawah ini:

 

 

No.

Uraian

Keterangan

1.

Jumlah laboratorium komputer 1

2.

Jumlah komputer 34 unit

3.

Internet dan hot spot 24 jam

4.

Jumlah rombongan belajar 13 kelas (@kurang lebih 30 siswa)

5.

Jumlah jam pelajaran 26 jp (@2jp)

6.

Jumlah guru 3 orang

7.

Pendidikan guru S1 komputer, D3 komputer

8.

Silabus dan RPP Dibuat sendiri

9.

Hasil karya siswa Tugas proyek

10.

Kriteria ketuntasan minimal kelas X (60 dan 65), XI (68 dan 70), XII (70 dan 72)

            Berdasarkan data di atas dapat dilakukan analisis dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu sarana dan prasarana, guru, kurikulum dan pembelajaran.

A. Sarana dan Prasarana

            Sekolah ini dilihat dari data di atas sebenarnya termasuk sekolah yang telah memiliki sarana dan prasarana penunjang pembelajaran TIK yang baik. Jika dibandingkan antara jumlah komputer dengan  jumlah siswa per kelas didapat angka perbandingan 1:1. hal ini sangat enunjang pembelajaran TIK yang efektif. Namun untuk jumlah laboratorium komputer mungkin perlu dilakukan  penambahan, dikarenakan jumlah kelas yang cukup banyak sedangkan laboratorium hanya ada satu maka jadwal penggunaan lab sangatlah padat satu minggunya. Jika guru akan menggunakan lab misalnya untuk kegiatan pembinaan siswa olimpiade atau reteaching remedial harus dilakukan di luar jam pelajaran sekolah.  Dari wawancara dengan guru, didapat sedikit hambatan yang mengganggu berkaitan dengan sarana dan prasarana, yaitu sering ditemukannya virus komputer. Disini maintenance/pemeliharaannya perlu ditingkatkan dan dijadwalkan secara rutin pengecekkan dan pembersihan virus yang ada di setiap komputer lab misal 1 bulan sekali.

B. Guru

            Jumlah guru TIK yang ada di sekolah ini dirasakan sudah mencukupi dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan mata pelaaran yang diampunya. Hanya mungkin untuk guru yang masih berpendidikan D3 perlu diberi kesempatan untuk melanjutkan ke tingkat S1 sebagai syarat kompetensi tenaga pengajar SMA. Menurut informasi dari guru yang ada, mereka jarang mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan mata ajar mereka. Hal ini dikarenakan sekolah menganggap pelatihan yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan SDMnya  yang mampu dan sudah menguasai materi secara mandiri. Namun demikian, pelatihan untuk pengembangan kemampuan guru TIK sangatlah perlu, karena pekembangan TIK sendiri yang begitu pesat. Maka sekolah perlu mengadakan pelatihan sendiri dengan materi yang disesuaikan untuk kebutuhan guru.

C. Kurikulum

            Kurikulum mata pelajaran TIK SMA adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang telah ditetapkan BSNP. Kurikulum TIK yang digunakan di SMA Kusuma Bangsa Palembang disesuaikan dengan KTSP, namun dilakukan pengembangan. Jadi silabus mata pelajaran TIK dan perangkatnya di sekolah ini dibuat sendiri oleh guru. Jika dianalisa, pegembangan yang dilakukan karena menurut persepsi guru kurikulum TIK SMA tumpang tindih dengan kurikulum TIK SMP. Adanya pengulangan materi yang sudah didapat di SMP. Kemudian urutan standar kompetensi di KTSP dirasakan kurang sesuai, seperti materi presentasi dengan program powerpoint baru diajarkan di kelas XII, padahal powerpoint sudah sangat diperlukan untuk mendukung presentasi pada mata pelajaran lain. Maka sebaiknya diajarkan pada kelas X semester 2 atau kelas XI semester 1. Selain itu, materi di KTSP lebih banyak ke arah teori, sedangkan hakikat pelajaran TIK adalah praktik. Oleh karena itu, di sekolah ini, materi ajarnya diarahkan lebih banyak pada praktiknya atau ke ranah psikomotor. Menurut guru, standar kompetensi tentang internet memuat kompetensi dasar yang kurang memberikan pola pikir kreatif, karena KD hanya berisi materi umum dan pengenalan. Padahal untuk siswa SMA internet bukanlah hal yang baru lagi, maka perlu dikembangkan materi tentang internet yang lebih aplikatif misalnya pembuatan web sesuai dengan tingkat kompetensi siswa dan sarana prasarana yang ada di sekolah. Ada pun materi yang ditambahkan antara lain adalah flash, visual basic, photoshop, program akutansi dan fox pro. Untuk materi TIK yang diberikan sebagai ekstrakurikuler klub komputer adalah program pascal dan visual basic guna persiapan siswa olimpiade.

D. Pembelajaran

            Proses pembelajaran TIK di SMA Kusuma Bangsa 80% adalah praktik dan sisanya ceramah. Sumber belajar yang digunakan adalah buku, modul dan internet. Dengan lebih banyak menggunakan metode penampilan/praktik mendorong siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Siswa dalam pembelajaran diberikan penugasan berupa tugas proyek yang dikumpulkan setiap akhir semester. Hasil karya siswa yang baik disimpan oleh guru atau dibagikan dengan guru mata pelajaran lain yang berhubungan. Evaluasi yang dilakukan berupa ulangan harian dan ulangan akhir semester. Dari melihat daftar analisis ulangan harian rata-rata jumlah siswa yang ikut remedial sekitar 10 orang per kelas. Untuk kelas unggulan paling hanya ditemui satu atau dua orang yang remedial.

 

III. Penutup

            Implementasi mata pelajaran TIK di SMA Kusuma Bangsa Palembang menurut penulis sudah berjalan dengan baik. Dimana semua faktor pendukung keberhasilan implementasi mata pelajaran TIK sudah dimiliki sekolah ini baik dari sarana prasarana, guru, kurikulum dan proses pembelajarannya. Semua yang sudah dimiliki tidaklah ada artinya jika tidak ada proses pemeliharaan dan pengembangan. Hal inilah yang perlu dijadikan masukkan buat sekolah ini demi kemajuan yang lebih baik lagi. Seperti pengecekkan komputer yang terjadwal, pelatihan dan pengembangan guru, hasil karya siswa disimpan dengan baik dan diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan, dan melakukan revisi silabus/rpp sesuai keperluan. Sehingga dengan demikian visi dan tujuan pembelajaran TIK dapat tercapai. Demikian pula sekolah, mampu mencetak sumber daya manusia yang kompeten dan bisa menghadapi tantangan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi saat ini.   

            Akhirnya semoga bahasan ini dapat menambah wawasan kita terhadap ilmu pendidikan dan masukan bagi semua pihak yang berkaitan dengan pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi.

Juni 1, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

PENGINDERAAN DAN PERSEPSI

Bab I

PENDAHULUAN

 

I.        Latar Belakang

Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung menerima stimulus atau rangsang dari luar di samping dari dalam dirinya sendiri. Ia mulai merasa kedinginan, sakit, senang, tidak senang, dan sebagainya.

Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya. Bagaimana individu dapat mengenali dirinya sendiri maupun keaaan sekitarnya, hal ini berkaitan dengan persepsi (perception). Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan mengalami persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berujud diterimanya stimulus oleh individu melelui alat reseptornya. Namun proses situ tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan stimulus itu diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan terjadilah proses psikologis, sehingga indvidu menyadarai apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan sebagainya, individu mengalami persepsi. Karena itu proses penginderaan tidak dapat lepas dari proses persepsi, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari persepsi. Proses peginderaan akan selalu terjadi setiap saat, pada waktu individu menerima stimulusmelalui alat inderanya, melalui reseptornya. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1965; Woodworth dan Marquis,1957 dalam Bimo Walgito, 1997)

 

II.     Permasalahan

Dari uraian latar belakang di atas, maka muncul permasalahan : Bagaimana hubungan aktivitas penginderaan terhadap persepsi peserta didik dalam proses belajar?

 

III. Tujuan

      Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita dapat menganalisa hubungan aktivitas penginderaan terhadap persepsi peserta didik dalam proses belajar.

  

Bab II

PEMBAHASAN

 

2.1.      Penginderaan

Definisi penginderaan (sensation) menurut Wundt adalah penangkapan terhadap rangsang-rangsang dari luar dan dapat dianalisa sampai elemen-elemen yang terkecil.

Penginderaan meliputi  :

1.    Penglihatan

Alat penglihatan utama adalah mata. Rangsang berupa gelombang cahaya masuk ke dalam bola mata melalui bagian-bagian mata. Prosesnya cahaya masuk ke retina diteruskan berupa impuls menuju ke syaraf (otak) sehingga  objek dapat terlihat. Gangguan pada indera penglihatan menimbulkan kelainan mata sebagai berikut:

1.      Myopia (rabun jauh)

2.      Hypermetropia (rabun dekat)

3.      Presbyopia

4.      Strabismus (mata juling)

5.      Astigmatisme

6.      Hemeralopia (rabun senja)

7.      Colour blind (buta warna)

  1. Pendengaran

Alat pendengaran utama adalah telinga. Rangsang berupa gelombang suara masuk ke dalam telinga melalui bagian-bagian alat pendengaran.Gelombang suara merambat melalui 3 media:

         Udara

         Benda padat/tulang

         Cairan/endolymphe

Bila seseorang tidak dapat mendengar, maka ada kemungkinan kerusakan pada pusat pendengaran yang menyebabkan gangguan fungsi intelek atau pada salah satu alat tempat berjalannya/penerus rangsang (conductive deafness) yang tidak ada hubungannya dengan fungsi intelek.

  1. Pengecap

Alat pengecap utama adalah lidah. Rangsang berupa larutan cairan melalui lidah (lingua) dan rongga mulut (cavumroris). Prosesnya adalah larutan/cairan diterima lidah masuk ke rongga mulut diteruskan nervus ke-9 menuju gyrus centralis posterior (pusat sensibilitas di kulit otak). Reseptor pada lidah ada 4 jenis penerima rangsang, yaitu : rasa manis, pahit, asin dan asam.

  1. Pembau

Alat pembau utama adalah hidung.  Rangsang berupa hawa/udara/bau melalui udara menuju ke reseptor yang ada di rongga hidung (cavum nasalis). Prosesnya adalah bau diterima oleh rongga hidung diteruskan oleh nervus ke-1 (saraf pembau) menuju gyrus centralis posterior (pusat sensibilitas di kulit otak).
5.    Perabaan

Alat perabaan utama adalah kulit. Rangsang yang diterima tubuh manusia dapat berupa rangsang : mekanis, thermis, chemis, elektris, suara, cahaya. Perabaan adalah ransang mekanis ringan pada bagian permukaan tubuh, khususnya yang tidak berambut seperti telapak kaki, bibir,dll. Reseptornya adalah corpuscula meissner dan corpuscula pacini.

 

2.2.      Persepsi

Definisi persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Persepsi menurut Davidoff dalam Walgito (1997) : stimulus yang diindera oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu sadar, mengerti tentang apa yang diindera.

Individu dapat mengadakan persepsi, jika:
1. Adanya objek
2. Adanya alat indera (reseptor)
3. Ada perhatian

Dalam proses persepsi sendiri terdiri dari :
1. Proses kealaman (fisik)
2. Proses fisiologis
3. Proses psikologis

2.2.1.   Perhatian

Perhatian adalah pemusatan/konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan pada sesuatu atau sekumpulan objek. Menurut Drever dalam Walgito (1997), perhatian merupakan penyeleksian terhadap stimulus. Sedangkan menurut Harriman dalam Walgito (1997), perhatian dan kesadaran mempunyai korelasi positif.

Berdasarkan cara timbulnya, perhatian dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : perhatian spontan dan tidak spontan. Berdasarkan banyaknya objek, perhatian digolongkan menjadi perhatian sempit (terpusat) dan perhatian luas (terbagi-bagi). Sedangkan berdasarkan fluktuasinya, perhatian dibagi menjadi perhatian statis dan dinamis.

2.2.2.   Stimulus

Objek menimbulkan stimulus/rangsang pada alat indera manusia. Tetapi tidak semua stimulus dapat disadari oleh individu. Stimulus harus cukup kuat agar dapat dipersepsi atau disadari manusia. Batas minimal kekuatan stimulus agar dapat menimbulkan kesadaran individu disebut ambang stimulus (Townsend, 1953). Untuk menentukan ambang stimulus pada umumnya digunakan methods of limits.

Agar stimulus dapat menarik perhatian individu sehingga ada kemungkinan dipersepsi harus dikaitkan dengan faktor:
1. Intensitas/kekuatan stimulus
2. Ukuran stimulus
3. Perubahan stimulus
4. Ulangan stimulus
5. Pertentangan/kontras stimulus

Kadang ditemui kesulitan dalam membedakan stimulus dengan latar belakangnya  atau istilahnya disebut berayunnyaperhatian (osilasi). Seperti pada gambar-gambar ambigu Rubin dan Schroder.

 

 

2.2.3.   Faktor Individu

Dalam proses pengamatan ada 2 faktor, yaitu : faktor eksternal berupa stimulus dan faktor internal berupa faktor individu. Penyeleksian stimulus oleh individu tergantung keadaan individu saat itu. Keadaan individu pada suatu waktu ditentukan oleh:

  1. Sifat struktural individu (permanen)
  2. Sifat temporer individu
  3. Aktivitas yang sedang berjalan

2.2.4.   Illusi

Ilusi adalah kesalahan individu dalam memberikan interpretasi atau arti pada stimulus yang diterimanya. Ilusi bukanlah merupakan kelainan dalam kehidupan kejiwaan seseorang. Hal ini berlainan dengan halusinasi yang merupakan kelainan dalam kejiwaan seseorang.

Faktor penyebab ilusi :

  1. Faktor kealaman

Ilusi yang terjadi karena faktor alam, misalnya gema, ilusi kaca.

  1. Faktor stimulus

Adanya stimulus yang ambigu dan stimulus yang tidak dianalisis lanjut.

  1. Faktor individu

Disebabkan karena adanya kebiasaan dan dapat juga karena adanya kesiapan psikologis dari individu                                                  

 

2.3.      Hubungan penginderaan terhadap persepsi peserta didik.

Dalam proses belajar pasti ada objek yang akan dipelajari. Objek yang akan dipelajari harus dapat diindera dengan baik oleh alat indera peserta didik. Sehingga peserta didik dapat menyadari atau mempersepsi objek belajar tersebut. Tetapi berhasil/tidaknya persepsi, tidak hanya ditentukan oleh alat indera. Melainkan juga faktor lain seperti kesiapan peserta didik dalam menerima stimulus, kekuatan stimulus, atau faktor individu. Jika peserta didik dapat mempersepsi objek yang dipelajari dengan benar maka tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

Setelah kita dapat menganalisis aktivitas penginderaan terhadap persepsi peserta didik, diharapkan pendidik mampu membantu atau mengatasi kesulitan peserta didik dalam belajar. Contohnya, jika peserta didik mengalami gangguan penginderaan misalnya penglihatan (miopi), maka pendidik bisa memindahkan peserta didik ke depan kelas agar peserta didik itu dapat mengindera dengan baik. Sedangkan jika peserta didik mengalami kesulitan belajar dikarenakan faktor perhatian/kesiapan, maka pendidik perlu menerapkan teknik apersepsi yang menarik perhatian siswa bisa dengan media yang penuh warna, ritme suara yang menarik minat siswa.

Bab III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

3.1.      Kesimpulan

            Setelah membahas masalah di atas, maka kami menyimpulkan sebagai berikut :

  1. Penginderaan yang baik, besar kemungkinan akan menimbulkan persepsi yang benar.
  2. Persepsi yang benar tidak hanya dipengaruhi oleh penginderaan yang baik, tetapi juga dipengaruhi faktor lain seperti kesiapan, stimulus dan faktor individu.
  3. Gangguan penginderaan akan mengganggu peserta didik dalam mempersepsi sehingga akan menghambat proses belajar.
  4. Keberhasilan proses belajar sangat ditentukan oleh penginderaan dan persepsi yang benar.
  5. Analisis aktivitas penginderaan dan persepsi peserta didik dalam proses belajar penting bagi seorang pendidik.

3.2.      Saran

            Dari uraian di atas, kami menyarankan :

  1. Pendidik diharapkan mampu menganalisis aktivitas penginderaan dan persepsi peserta didik agar dapat membantu mengatasi kesulitan belajar peserta didik.
  2. Diharapkan pendidik bisa menemukan metode-metode yang inovatif agar peserta didik dapat mempersepsi dengan benar.  

DAFTAR PUSTAKA

 

 

            Dirgagunarsa, Singgih. 1975. Pengantar Psikologi. Jakarta : Mutiara.

            Walgito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

            http://id.wikipedia.org/wiki/Ilusi_optis.

November 28, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

KAWASAN DAN BIDANG GARAPAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

            Dalam definisi teknologi pendidikan menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT) tahun 1994 menyatakan teknologi pendidikan adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta penilaian  proses dan sumber untuk belajar. Dari komponen-komponen definisi tersebut memberikan penjelasan dan gambaran tentang apa yang diperbuat dan dipelajari oleh tenaga profesi dalam bidang teknologi pendidikan.

A. Peran Kawasan

Desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian adalah 5 kawasan teknologi pendidikan yang harus dikembangkan untuk mengidentifikasi hubungan timbal balik dari teori dan praktik pembelajaran serta penelitian yang dilakukan untuk melihat kebenaran teori yang ada. Prof. Yusufhadi Miarso dalam bukunya ”Menyemai Benih” tahun 2007, membagi kawasan bidang garapan teknologi pendidikan menjadi 6 bagian yaitu desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian dan penelitian.

Ronald L. Jacobs (1988) juga mengusulkan adanya suatu kawasan teknologi kinerja manusia yang mencakup teori dan praktik, dan mengidentifikasi tugas-tugas para praktisi. Berdasarkan kawasan yang diajukan Jacobs, terdapat 3 fungsi, yaitu : fungsi pengelolaan, fungsi pengembangan sistem kinerja dan komponen sistem kerja manusia yang menjadi landasan konseptual untuk melakukan fungsi lain.

B. Hubungan Antar Kawasan

            Setiap kawasan dalam teknologi pendidikan memberikan kontribusi kepada pengembangan teori dan praktik dan sebaliknya teori dan praktik dijadikan pengembangan kawasan. Tiap kawasan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan sebagai suatu kegiatan yang sistematik. Hubungan antar kawasan ini bersifat sinergik, saling melengkapi terlihat pada gambar berikut ini :

 

            Berdasarkan kawasan-kawasan tersebut, maka seorang sarjana teknologi pendidikan dapat berprofesi atau memiliki bidang garapan sebagai :

·              Perancang proses dan sumber belajar; dimana lingkup pekerjaannya meliputi perancangan sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran dan karakteristik pebelajar.

·              Pengembang proses dan sumber belajar; dimana lingkup pekerjaannya meliputi pengembangan teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berbantuan komputer dan teknologi terpadu lainnya.

·              Pemanfaat/pengguna proses dan sumber belajar; dimana lingkup pekerjaannya meliputi pemnafaatan media pembelajaran, difusi inovasi pendidikan, implementasi dan institusionalisasi model inovasi pendidikan, serta penerapan kebijakan dan regulasi pendidikan.

·              Pengelola proses dan sumber belajar; dengan lingkup pekerjaan meliputi pengelolaan proyek, pengelolaan aneka sumber belajar, pengelolaan sistem penyampaian, dan pengelolaan sistem informasi pendidikan.

·              Evaluator/peneliti proses dan sumber relajar; dengan lingkup pekerjaan meliputi melakukan analisis masalah, pengukuran acuan patokan, evaluasi formatif, evaluasi sumatif dan penelitian kawasan pendidikan.

 C. Deskripsi Kawasan

            Untuk melihat keterkaitan antara teori, praktek dan penelitian berikut akan diuraikan setiap kawasan teknologi pendidikan. Dalam makalah ini, hanya akan dibahas 2 kawasan teknologi pendidikan, yaitu kawasan perancangan dan kawasan pengembangan.

I. Kawasan Desain/Perancangan

            Kawasan desain memiliki asal usul dari gerakan psikologi pembelajaran. Melalui Jim Finn dan Leonard Silvern, pendekatan sistem pembelajaran secara bertahap mulai berkembang menjadi suatu metodologi dan mulai memasukkan gagasan dari psikologi pembelajaran. Demikian juga Gagne dan Briggs pada tahun 1960an telah menggabungkan keahlian psikologi pembelajaran dengan bakat dalam desain sistem yang membuat konsep pembelajaran menjadi hidup.

            Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar. Tujuan desain adalah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat mikro seperti program dan kurukulum; dan pada tingkat mikro seperti pelajaran dan modul.

            Kawasan desain meliputi studi mengenai desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik pemelajar.

·              Desain Sistem Pembelajaran (DSP)

Adalah prosedur teroganisasi yang meliputi langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian dan penilaian pembelajaran. Dalam istilah yang sederhana, penganalisaan adalah proses perumusasn apa yang akan dipelajari; perancangan adalah proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya; pengembangan, adalah proses penulisan dan pembuatan bahan pembelajaran; pengaplikasian adalah pemanfaatan bahan dan stategi pembelajaran; dan penilaian adalah proses penentuan ketepatan pembelajaran. Semua proses ini harus tuntas agar dapat berfungsi sebagai alat kontrol.

·              Desain Pesan

Meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan (Grabowski, 1991) yang mengandung prinsip perhatian, persepsi dan daya serap agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima. Menurut Flemming dan Levi (1993), pesan dibatasi sebagai pola isyarat/simbol yang memodifikasi perilaku kognitif, psikomotorik dan afektif. Karakteristik desain harus spesifik terhadap medianya dan tugas belajarnya.

·              Strategi Pembelajaran

Adalah spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran. Strategi pembelajaran meliputi situasi belajar seperti belajar induktif serta komponen proses belajar mengajar seperti motivasi dan elaborasi (Reigeluth, 1978). Lingkup strategi pembelajaran menggunakan penelitian motivasi untuk menentukan desain komponen pembelajaran. Reigeluth (1983 dalam Seels dan Richey (1994) membagi strategi pembelajaran menjadi 2 variabel strategi :

1.      Variabel strategi mikro: mengorganisasikan pembelajaran dalam suatu gagasan tnggal seperti definisi, contoh, latihan dan bentuk sajian lain.

2.      Variabel strategi makro: mengorganisasikan pembelajaran yang berhubungan dengan lebih dari satu gagasan, seperti mengurutkan, membuat sintesis, membuat ringkasan gagasan yang diajarkan.

·              Karakteristik Pemelajar

Adalah segi-segi latar belakang pemelajar yang berpengaruh terhadap efektivitas proses belajarnya. Lingkup strategi pembelajaran menggunakan penelitian motivasi untuk mengidentifikasi variabel yang harus diperhitungkan dan bagaimana caranya hal tersebut dapat diperhitungkan. Oleh sebab itu, karakteristik pemelajar mempengaruhi komponen belajar yang diteliti dalam lingkup strategi pembelajaran. Karakteristik pemelajar tidak hanya berinteraksi dengan strategi pembelajaran juga dengan situasi atau  konteks dan isi (Bloom, 1976).

2. Kawasan Pengembangan

            Kawasan pengembangan ini berakar pada produksi media. Diawali dengan perkembangan buku teks dan alat bantu pembelajaran non proyeksi sampai munculnya media film yang merupakan tonggak perkembangan era audiovisual ke era teknologi pembelajaran modern.

            Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam variasi teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Kawasan pengembangan dapat dijelaskan dengan adanya pesan yang didorong oleh isi, strategi pembelajaran yang didorong oleh teori dan manifestasi fisik dari teknologi berupa perangkat keras, perangkat lunak dan bahan pembelajaran.

Kawasan pengembangan diorganisasikan dalam 4 kategori : teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berasaskan komputer dan teknologi terpadu.

·              Teknologi Cetak

Adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan seperti buku dan bahan visual, terutama melalui proses mekanis dan fotografis. Teknologi ini adalah dasar untuk pengembangan dan pemanfaatan dari kebanyakan bahan pelajaran lain. Hasil teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer adalah contoh penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut dicetak dalam bentuk cetakan, inilah yang merupakan teknologi cetak. Berikut karakteristik dari teknologi cetak/visual :

1.      Teks dibaca secara linier, sedang visual direkam menurut ruang.

2.      Keduanya biasanya memberikan komunikasi satu arah.

3.      Keduanya berbentuk visual statis.

4.      Pengembangannya sangat bergantung pada prinsip linguistik dan persepsi visual.

5.      Keduanya berpusat pada pemelajar.

6.      Informasi dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.

·              Teknologi Audiovisual

Merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan peralatan mekanis dan elektronis untuk menyajikan pesan audio (melalui pendengaran) dan visual (melalui penglihatan). Peralatan audiovisual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran suara dan penayangan visual yang berukuran besar seperti film, film bingkai dan transparansi. Televisi merupakan teknologi unik yang menjembatani teknologi audiovisual ke teknologi komputer dan terpadu. Karakteristik teknologi audiovisual sebagai berikut:

1.      Bersifat linier.

2.      Menampilkan visual yang dinamis.

3.      Digunakan menurut cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembangnya.

4.      Cenderung berupa bentuk representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak.

5.      Dikembangkan berdasarkan prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif.

6.      Sering berpusat pada guru, kurang interaktif dengan pemelajar.

·              Teknologi Berbasis Komputer

Merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor. Teknologi ini berbeda dengan teknologi lain karena menyimpan informasi secara elektronis dalam bentuk digital bukan sebagai bahan cetak/visual dan ditampilkan melalui tayangan di layar monitor. Beberapa jenis aplikasi komputer biasanya disebut Computer Based Instruction (CBI), Computer Assisted Instruction (CAI), atau Computer Managed Instruction (CMI). Pengaplikasiannya dapat bersifat tutorial, dimana pembelajaran utama diberikan: latihan dan perulangan untuk mengembangkan kefasihan dalam bahan yang telah dipelajari, permainan dan simulasi untuk memberi kesempatan menggunakan pengethauan yang baru dipelajari, dan sumber data yang memungkinkan pemelajar mengakses sendiri. Teknologi komputer baik perangkat lunak maupun keras memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Digunakan secara acak disamping secara linier.

2.      Dapat digunakan sesuai keinginan pemelajar, maupun menurut cara yang dirancang desainer/pengembang.

3.      Gagasan diungkapkan secara abstrak dengan menggunakan kata, simbol dan grafis.

4.      Belajar dapat berpusat pada pemelajar dengan tingkat interaksi yang tinggi.

·              Teknologi Terpadu

Merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Komponen perangkat keras dari sistem terpadu dapat terdiri dari komputer dengan memori besar yang dapat mengakses secara acak, memiliki internal hard drive, dan sebuah monitor beresolusi tinggi. Peralatan pelengkapnya mencakup alat pemutar video, alat penayangan tambahan, perangkat keras jaringan (networking), dan sistem audio. Sedang perangkat lunaknya berupa disket video, compact disk, program jaringan, serta informasi digital. Kesemuanya dijalankan dan dikendalikan dalam suatu program belajar hymermedia menggunakan sistem authoring seperti hypercard atau toolbook. Pembelajaran dengan teknologi terpadu ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1.      Digunakan secara acak disamping secara linier.

2.      Dapat digunakan sesuai keinginan pemelajar, maupun menurut cara yang dirancang desainer/pengembang.

3.      Gagasan diungkapkan secara realistik dalam konteks pengalaman pemelajar, relevan dengan kondisi pemelajar dan dibawah kendali pemelajar.

4.      Belajar dapat berpusat pada pemelajar dengan tingkat interaksi yang tinggi.

5.      Prinsip ilmu kognitif dan konstruktivisme diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan bahan pembelajaran.

6.      Belajar dipusatkan dan diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga pengethauan terbentuk pada saat digunakan.

7.      Sifat bahan yang mengintegrasikan kata-kata dari banyak sumber.

 

            

DAFTAR PUSTAKA

Barbara B. Seels & Rita C. Richey, Teknologi Pembelajaran, Unit Penerbitan Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 1994

Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Prenada Media Group, Jakarta, 2004

November 28, 2008 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar

Desentralisasi Pendidikan

Bab I

PENDAHULUAN

 

1.1.      LATAR BELAKANG

Setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, rakyat Indonesia dengan suara lantang menuntut adanya perubahan. Dari sinilah muncul berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata. Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah. Mereka melihat bahwa sistem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak berhasil membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru terbelakang.

Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR disepakati untuk disahkan maka pada tahun 1999 yaitu UU No 22 dan 25 tahun 1999. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.

Seiring dengan implementasi otonomi daerah, sektor pendidikan yang merupakan salah satu sektor pelayanan dasar, juga mengalami perubahan mendasar baik dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaran pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan. Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi semakin berperan. Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan kebutuhan masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah, mestinya tidak akan terulang kembali.                       

Namun pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak semudah yang dibayangkan, muncul persoalan-persoalan baru yang mana turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat. Dalam makalah ini kami ingin mengkaji implementasi UU pemerintah daerah terhadap desentralisasi pendidikan dengan membahas prinsip-prinsip desentralisasi, bagaimana proses desentralisasi pendidikan dan persoalan-persoalan yang muncul seiring dengan diberlakukannya desentralisasi pendidikan.

1.2.      PERMASALAHAN

Dari uraian latar belakang di atas, maka muncul permasalahan :

1.       Kendala dan persoalan yang muncul pada implementasi desentralisasi pendidikan.

2.       Bagaimana mengatasi persoalan yang muncul sehingga desentralisasi pendidikan dapat berjalan mulus?

 

1.3.      TUJUAN

            Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita dapat menganalisa kelebihan dan kekurangan penerapan desentralisasi dalam pendidikan sehingga dapat memecahkan masalah yang timbul.

                                                                         Bab II

PEMBAHASAN

 

2.1.   KONSEP DASAR DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Gagasan desentralisasi pendidikan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Setidaknya dalam fase embrio, gagasan ini sudah menjadi kebijakan resmi negara sejak tahun 1947, dengan terbitnya UU No. 32/1947, di mana daerah berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhannya, terutama bidang pertukangan dan kepandaian puteri. Kewenangan yang lebih luas lagi diberikan 3 tahun kemudian lewat UU No. 4/1950 dan jabarannya dalam PP No. 65/1951 yang mendesentralisasikan pengelolaan pendidikan (dasar) kepada daerah dan hak bagi pihak swasta untuk ikut mendirikan sekolah. Meski masih bersifat terbatas dilihat dari ukuran saat ini, rintisan itu dipertegas di masa Orde Baru. UU No. 5/1974 (Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), UU No. 2/1989 (Sistem Pendidikan Nasional) dan PP No. 28/1990 (Pendidikan Dasar) adalah sebagian instrumen legal yang mendasari inisiatif desentralisasi. Arsitektur pembagian kewenangan tampak lebih jelas, yakni daerah (melalui Dinas) mengurus pengadaan gedung dan penyediaan tanah untuk sekolah, sementara pusat (melalui Kanwil/Kandep) bertanggung jawab atas pengadaan guru, kurikulum dan perlengkapan pendidikan. Menyangkut kurikulum, daerah juga diberi hak untuk menambah muatan lokal dalam porsi yang ditetapkan pusat.
Di era reformasi saat ini, baik melalui UU No. 22/1999 maupun hasil revisinya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan bukan saja termasuk urusan yang didesentralisasikan, tetapi bahkan menjadi urusan wajib (Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999 dan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32/2004). Ini artinya, pertama, pusat wajib menyerahkan penyelenggaraan urusan itu kepada daerah; kedua, daerah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun (seperti halnya dalam urusan pilihan) untuk menyelenggarakannya. Kewajiban mengikat pihak pemberi (pusat) dan penerima (daerah).

Menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, yaitu pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.

Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dua hal ini mungkin sekali pelaksanaannya tergantung situasi kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia di bawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung.

Untuk itulah partisipasi orang tua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang diformulasi pemerintah baik pusat maupun daerah. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa provinsi, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia.

Ada beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :

1.   Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.

2.   Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.

3.   Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.

4.   Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.

5.   Mengakomodasi kepentingan politik.

6.   Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tilaar, 2002).

1.   Masyarakat demokrasi

Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean governance).
2.    Pengembangan“SocialCapital”

Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.

3.       Pengembangan Daya saing

Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter. Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuannya.

2.2.      KEKUATAN DAN KELEMAHAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
           
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal :

1.   Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.

2.   Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.

3.   Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.

4.   Sumber daya manusia yang belum memadai.

5.   Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.

6.   Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.

7.   Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :

1.       Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah antar individu warga masyarakat.

2.       Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.

3.       Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.

4.       Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan mutu pendidikan.

5.       Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

6.       Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

7.       Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, desentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi desentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :

1.       Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.

2.       Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara gradual dan dijadwalkan setepat mungkin.

3.       Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.

4.       Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.

5.       Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.

6.       Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.

7.       Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.

Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :

  1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
  2. Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
  3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar.

  Bab III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

3.1.      KESIMPULAN

            Setelah membahas masalah di atas, maka kami menyimpulkan sebagai berikut :

  1. Kendala dan persoalan yang timbul dari implementasi desentralisasi antara lain kurangnya pendanaan, kurang meratanya SDM, ketidaksiapan secara psikologis semua pihak yang takut menghadapi perubahan, kurangnya sarana dan prasarana dan kadang pemerintah daerah mempolitisasi pendidikan.
  2. Usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan yang timbul agar desentralisasi dapat berjalan mulus adalah mencari strategi yang tepat dalam implementasinya, tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi juga harus menyentuh pemberian kewenangan yang lebih besar pada sekolah-sekolah dalam menentukan kebijakan-kebijakan : organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah dan sumber pendanaan sekolah dan adanya kesiapan dan  kerja sama dari seluruh stakeholders dalam implementasi kebijakan desentralisasi, pemerataan SDM dan pemrioritasan bantuan dana ke daerah miskin dan terpencil.

3.2.      SARAN

            Dari uraian di atas, kami menyarankan :

  1. Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas.

2.       Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.

3.       Laksanakan amandemen UUD 1945 pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan anggaran minimal 20 % dari APBN.

4.       Persiapkan pelaksanaan otonomi pendidikan yang aplikasinya dimulai dengan upaya-upaya penguatan manajemen sekolah karena ide dasar desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah adalah pengembangan pendidikan berbasis masyarakat (school based managemen / community)

5.       Berkaitan dengan otonomi pendidikan yang perlu juga diperhatikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten yang lebih demokratis, transparan, efisien melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan pembentukan Majelis Sekolah.

6.       Dalam konteks desentralisasi, pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi ”Fasilitator” dan “bukan pengendali”.

7.       Realitas birokrasi pendidikan yang terjadi saat ini dalam perfektif manajemen tidaklah menguntungkan.

8.       Pada tingkat praktis-pragmatis, sekolah yang menentukan bagaimana tujuan umum tersebut dicapai dengan keterlibatan penuh semua elemen sekolah

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Analisis, Tahun XXIX/2000, No 1. ”Otonomi daerah, penyelesaian atau masalah? ”Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000
Andrias Harefa, Menjadi manusia pembelajar, kompas media Indonesia Jakarta, 2001

H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000.

H A R. Tilaar, Membenahi pendidikan nasional, Rineka cipta, Jakarta, 2002

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

November 27, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar